TANGGAPAN MUSLIM
Bismillahirrohmanirrohim....
Islam sering diidentikan dengan perbudakan, mari kita kupas pembahasannya!
Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela. (QS Al-Mu”minun: 5-6)
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS An-Nisa: 3)
Dan
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni”mati di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisa: 24)
Pembolehan
itu kalau kita lihat di masa sekarang ini, sekilas memang terasa aneh
dan tidak sesuai dengan rasio kita. Sebab kita hidup di abad 21, di
mana perbudakan sudah menjadi barang yang asing. Kalau sampai kita
membaca ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep perbudakan, bahkan
pemiliknya sampai boleh menyetubuhinya, tentu saja kita akan merasa
sangat heran.
Namun
pahamilah bahwa status budak itu amat hina. Budak dianggap sebagai
makhluk setengah binatang dan setengah manusia. Maka tindakan
menyetubuhi budak di masa itu jangan dianggap sebagai kenikmatan, justru
sebaliknya, masyarakat di masa itu memandangnya sebagai sebuah
tindakan yang hina dan kurang terhormat. Meski pun dihalalkan oleh
Al-Quran.
Dan
ketika Al-Quran menghalalkan laki-laki menyetubuhi budaknya, hal itu
merupakan dispensasi atau keringanan belaka. Terutama buat mereka yang
tidak mampu menikahi wanita terhormat dan mulia. Masyarakat sendiri
tidaklah memandang bahwa menyetubuhi budak itu sebagai sebuah fasilitas
penyaluran aktifitas seksual yang ”wah” di masa itu. Sebab memang sudah
menjadi konvensi bahkan sebuah kelaziman.
Berbeda
dengan zaman sekarang, kalau kita mendengar kebolehan menyetubuhi
budak, seolah kita merasakan kehebohan tersendiri. Padahal para budak
wanita itu bukan sekedar wanita murahan atau rendahan, bahkan dianggap
sebagai separuh binatang. Anda bisa bayangkan, mana ada orang di masa
itu mau menyetubuhi makhluk setengah manusia dan setengah binatang.
Pastilah mereka lebih memilih untuk menikah dengan para wanita mulia,
ketimbang menggauli budak. Kalau sampai ada yang menyetubuhinya, mereka
pun merasa kurang terhormat.
Mari
kita renungkan kembali keadaan sosiol kemasyarakatan di masa itu,
yakni abad ketujuh masehi, tentu pandangan kita akan berbeda jauh.
Ketahuilah
bahwa perbudakan itu sendiri bukan produk agama Islam. Perbudakan itu
sudah ada jauh sebelum Al-Quran ini diturunkan. Di zaman Romawi dan
Yunani Kuno, Persia kuno, China dan hampir seluruh peradaban manusia di
masa lalu telah dikenal perbudakan. Dan semua itu terjadi berabad-abad
sebelum Islam datang.
Sedangkan
negeri Arab termasuk negeri yang belakangan mengenal perbudakan,
sebagaimana belakangan pula dalam mengenal kebejadan moral. Minuman
keras, pemerkosaan, makan uang riba, menyembah berhala, poligami tak
terbatas dan budaya-budaya kotor lainnya bukan berasal dari negeri Arab,
tetapi justru dari peradaban-peradaban besar manusia.
Ini
penting kita pahami terlebih dahulu sebelum memvonis ajaran Islam.
Negeri Arab adalah peradaban yang terakhir mengenal budaya-budaya kotor
itu dari hasil persinggungan mereka dengan dunia luar. Karena orang
Makkah itu biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri. Justru
dari peradaban-peradaban ‘maju’ lainnya itulah Arab mengenal
kejahiliyahan. Perlu anda ketahui bahwa berhala-berhala yang ada di
depan ka’bah yang berjumlah 360 itu adalah produk impor. Yang terbesar
di antaranya adalah Hubal yang asli produk impor dari negeri Yaman.
Saat
itu dunia mengenal perbudakan dan berlaku secara international. Yaitu
tiap budak ada tarif dan harganya. Dan ini sangat berpengaruh pada
mekanisme pasar dunia saat itu. Bisa dikatakan bahwa budak adalah salah
satu komoditi suatu negara. Dia bisa diperjual-belikan dan dimiliki
sebagai investasi layaknya ternak.
Dan
hukum international saat itu membenarkan menyetubuhi budak milik
sendiri. Bahkan semua tawanan perang secara otomatis menjadi budak
pihak yang menang meski budak itu adalah keluarga kerajaan dan
puteri-puteri pembesar. Ini semua terjadi bukan di Arab, tapi di
peradaban-peradaban besar dunia saat itu. Arab hanya mendapat imbasnya
saja.
Dalam
kondisi dunia yang centang perenang itulah Islam diturunkan. Bukan
hanya untuk dunia Arab, karena kejahiliyahan bukan milik bangsa Arab
sendiri, justru ada di berbagai peradaban manusia saat itu.
Maka
wajar bila Al-Quran banyak menyebutkan fenomena yang ada pada masa itu
termasuk perbudakan. Bukan berarti Al-Quran mengakui perbudakan,
tetapi merupakan petunjuk untuk melakukan kebijakan di tengah sistem
kehidupan yang masih mengakui perbudakan saat itu.
Dan
ingat, tidak ada jaminan bahwa fenomena perbudakan itu telah hilang
untuk selamanya. Karena kejahiliyahan itu selalu berulang. Tidak ada
jaminan bahwa kebobrokan umat terdahulu yang telah Allah hancurkan, di
masa mendatang tidak kembali melakukannya. Termasuk perbudakan.
Kebetulan
saja kita hari ini hidup di masa di mana perbudakan kelihatannya sudah
tidak ada lagi. Tapi ingat, perbudakan baru saja berlalu beberapa
ratus tahun yang lalu di Barat yang katanya modern. Jadi tidak ada ayat
Al-Quran yang habis masa berlakunya.
Di
sisi lain, perhatikan Al-Quran dan Sunnah, hampir semua hukum yang
berkaitan dengan perbudakan itu berintikan pembebasan mereka. Semua
pintu yang mengarah kepada terbukanya pintu pembebasan budak terbuka
lebar. Dan sebaliknya, semua pintu menuju kepada perbudakannya tertutup
rapat. Dengan demikian, secara sistematis, jumlah budak akan habis
sesuai perjalanan waktu.
Sementara
itu, perbudakan tidaklah semata-mata penindasan, tapi pahamilah bahwa
di masa itu perbudakan adalah komoditi. Harga budak itu cukup mahal.
Seseorang dalam sekejap akan jatuh miskin bila secara tiba-tiba
perbudakan dihapuskan oleh Islam. Seorang tuan yang memiliki 100 budak,
akan menjadi fakir miskin bila pada suatu hari perbudakan dihapuskan.
Padahal dia mendapatkan budak itu dari membeli dan mengeluarkan uang
yang cukup besar serta menabung bertahun-tahun. Bila hal itu terjadi,
di mana sisi keadilan bagi orang yang memiliki budak, sedangkan dia
ditakdirkan hidup di zaman di mana perbudakan terjadi dan menjadi
komoditi.
Karena
itu Islam tidak secara tiba-tiba menghapuskan perbudakan dalam satu
hari. Islam melakukannya dengan proses kultural dan ‘smooth‘. Banyak
sekali hukuman dan kaffarah yang bentuknya membebaskan budak. Bahkan
dalam syariah dikenal kredit pembebasan budak. Seorang budak boleh
mencicil sejumlah uang untuk menebus dirinya sendiri yang tidak boleh
dihalangi oleh tuannya.
Dengan
cara yang sistematis dan proses yang alami, perbudakan hilang dari
dunia Islam jauh beberapa ratus tahun sebelum orang barat meninggalkan
perbudakan.
Kalau
hari ini ada orang yang bilang Al-Qur’an mengakui perbudakan, maka dia
perlu belajar sejarah lebih dalam sebelum bicara. Pendapatnya itu
hanya akan meperkenalkan kepada dunia tentang keterbatasan ilmunya dan
pada gilirannya akan menjadi bahan tertawaan saja.
Dengan
sudah berakhirnya era perbudakan manusia oleh sebab turunnya agama
Islam, maka otomatis urusan kebolehan menyetubuhi budak pun tidak perlu
dibicarakan lagi. Sebab perbudakannya sendiri sudah dilenyapkan oleh
syariah.
Mungkin ada yang bertanya, kalau perbudakan sudah lenyap, mengapa Al-Quran masih saja bicara tentang perbudakan?
Untuk
menjawab itu kita perlu melihat lebih luas. Marilah kita membuat
pengandaian sederhana. Seandainya suatu ketika nanti entah kapan,
terjadi perang dunia yang melumat semua kehidupan dunia. Lalu pasca
perang itu peradaban umat manusia hancur lebur, mungkin juga peradaban
manusia kembali lagi menjadi peradaban purba, lantas umat manusia yang
jahiliyah kembali jatuh ke jurang perbudakan manusia, maka agama Islam
masih punya hukum-hukum suci yang mengatur masalah perbudakan.
Jadi,
adalah kebohongan besar akibat ketidaktahuan mereka sajalah (yang
sering dibungkus kebencian) jika saat ini masih ada perbudakan.
Beberapa kali aku membaca bahwa penindasan dan perkosaan terhadap TKI
itu disebabkan orang Arab atau Timteng sana mengganggap TKI itu budak.
Itu jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Mereka melakukan itu karena
terpengaruh oleh budaya jahiliyah, dan lebih karena hawa nafsu maka
mencari pembenaran saja. Islam sendiri sudah jelas berhasil
menghapuskan sistem perbudakan yang notabene bukan berasal dari budaya
Arab melainkan warisan jahiliyah budaya peradaban-peradaban besar
sebelum Islam.
Semoga
ALLAH berkenan membukakan pintu hati mereka akibat ketidaktahuan
mereka. Karena sungguh besar azab ALLAH untuk mereka yang senantiasa
memperolok-olok ayat-ayat dan Rasul-Nya sebagaimana bunyi ayat
berikut:
“Demikianlah
balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan
disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai
olok-olok” (Al Kahfi:106)
Pada
masa dahulu sebelum Rasulullah lahir bangsa arab sangat keras dalam
menjaga tradisi, adat istiadat apa lagi menyangkut wibawa. berani
melanggar maka hukum pancung berlaku disini. Melahirkan anak perempuan
merupakan kehinaan yang tak terkirakan. tradisi menguburkan anak
perempuan hidup-hidup sudah menjadi kebisaan yang harus di junjung
tinggi.
Di
antara sifat-sifat jahiliyah yang begitu keras dan membantu ada
poin-poin positif yang juga terjaga dengan sangat baik. Orang arab
pantang melanggar janji ,berkata dusta, punya pendirian yang teguh.
Sifat2 istimewa ini sangat jarang dimiliki oleh bangsa2 manapun
didunia ini.
Tradisi2
yang sudah melekat dan mendarah daging yang begitu kuat mustahil
untuk di ubah kalau tidak ada keajaiban. Oleh sebab itu mengawini
budak (hamba sahaya) dan anak angkat merupakan kemustahilan di
lakukan. Tugas inilah yang di emban oleh nabi yang hidup di masyarakat
mekkah yang penuh dengan kejahiliyaan untuk memperbaiki akidah yang
sudah hancur begitu rupa. Kegetiran dan ketakutan jelas menghampiri
beliau (Rasulullah) dalam mengubah kebisaan buruk yang mengakar
tersebut. Oleh sebab itu turunlah Ayat2 dalam Alqur’an, bahwasanya
hanya Allah saja yang pantas kita takuti.
Tugas
beliau yang kita bahas disini baru sebatas perjodohan umat manusia,
belum lagi masalah akidah , politik social dan ekonomi yang harus
beliau tegakkan.
Agar
hukum-hukum islam bisa berlaku, maka orang pertama yang harus
menjalankannya adalah Rasulullah SAW sendiri, sebab dia adalah panutan
umat.
Mengawini
janda-janda tua, anak angkat istri dan budak bukanlah pekerjaan yang
merangsang kebutuhan biologis seperi yang anda koar-koar kan selama
ini. Tidak ada satupun dari janda-janda tua yang di kawini nabi menarik
untuk di datangi. Sementara untuk anak angkat istri juga demikian,
satu-satunya perawan yang di kawini Rasulullah SAW hanyalah Siti Aisyah
binti Abu Bakar RA.
Dan
satu-satunya budak yang cantik rupawan yang di kawini Rasulullah SAW
hanyalah Maria Al-Qibthiyah hadiah dari Pengusa Mesir, Raja Muqauqis
yang beragama kristen. Tidak benar kalau Rasulullah SAW berzina dengan
budak tersebut. Dan tidak juga benar Maria adalah budak istri
Rasulullah Hafsah, Putri Umar Al Khattab. Maria adalah budak
Rasulullah SAW sendiri sekaligus istri beliau dari golongan hamba
sahaya dalam bahasa kita adalah selir, bukan budak Hafsah istri
Rasulullah Putri Umar Al Khattab Al Faruq.
Perkarah
Rasulullah SAW mau mendatangi beliau (Maria) di rumah Hafsah yang
juga rumah Rasulullah ketika pulang dari Syria itu bukan urusan kamu.
Perkara Rasululah bersumpah untuk tidak mendatangi istrinya yang lain
juga bukan urusan kamu. Yang saya tanyakan kapan dan dimana Rasulullah
berzinah dengan Maria? Sementara Maria sendiri adalah istri beliau
(Rasulullah SAW) yang dari buah perkawinannya lahirlah Ibrahim yang
meninggal pada umur 2 tahun.
Dengan lahirnya Ibrahim maka status Maria bukan selir lagi melainkan sama kedudukannya dengan istri-istri nabi yang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar